Selasa, 15 November 2011

Pelajaran dari gerobak

Hujan di sore ini menambah kekesalanku pada kemacetan di perjalanan pulang. Aku hanya bisa menghela nafas panjang dan sesekali melihat jam di handphoneku. Aku ingin segera pulang, sudah terasa sangat lelah badan dan terutama pikiran ini. Begitu banyak peristiwa yang datang dalam sekejap mata. Begitu banyak ujian dan cobaan dalam beberapa hari ini yang merubah kehidupanku.
Rasa marah, kesal, kecewa dan merasa diperlakukan tidak adil bercampur menjadi satu.
Huff..membayangkan kembali masalah ini saja sudah membuat air mata ini keluar. Ku alihkan pandanganku ke arah jendela, menghindari beberapa tatapan penumpang lain yang menyadari perubahan ekspresi wajahku.
Saat itu, sebuah gerobak melintas di samping angkutan yang aku tumpangi. Di dalam gerobak itu tidak terisi oleh sampah, melainkan 3 orang anak. Usia mereka sekitar 10 tahun. Mereka tertawa di dalam gerobak itu, seakan tidak peduli dengan kemacetan di sekitarnya. Di depannya, ada seorang laki-laki menarik gerobak dan dibelakang seorang wanita yang mendorong gerobak itu. Mereka berdua pastilah orang tua dari anak-anak itu.
Gerobak itu berjalan melewati beberapa mobil yang berhenti dan pandanganku terus tertuju pada gerobak itu. Ini bukanlah pertama kalinya aku melihat gerobak itu, setiap jam pulang kerjaku aku pasti akan bertemu dengan mereka di depan stasiun Tj. Barat.
Tiba-tiba hati kecilku berkata..
Aku masih bisa pulang kerumah, tidur di atas kasur yang hangat, tidak perlu berjalan kaki untuk menuju rumah dan kantorku. Sedangkan mereka, mungkin rumah mereka tidak sebesar rumah yang aku tempati, mungkin kasur mereka tidak sehangat yang aku punya dan pastinya mereka harus menguras banyak tenaga untuk bekerja mencari uang. Astagfirullah..betapa pemandangan tadi menusuk hati dan pikiranku. Seakan itu jawaban dari semua emosi ini.
Betapa aku kurang bersyukur di atas cobaan ini.
Betapa seringnya aku mengeluh atas ujian ini, betapa aku sering merasa Engkau tidak adil kepada diriku.
Melihat kembali anak-anak itu tertawa bersama dengan saudara dan orangtuanya, membuatku kembali tertusuk.
Begitu banyak waktu yang kuhabiskan di pekerjaan dibandingkan mengobrol dan tertawa bersama orangtuaku. Begitu banyak waktu yang terlewat hanya untuk sekedar menanyakan keadaan mereka.
Betapa egoisnya diri ini sebagai hambaNYA, sebagai anak, sebagai kakak dan sebagai manusia.
Bukankan ujian dari Allah swt adalah meminta kita untuk melihat sejenak ke bawah dan menyadari kesalahan yang pernah diperbuat, bukan melihat dan membandingkan dengan orang yang di atas kita.
Begitu banyak hikmah dari ujian iman dan kedewasaan ini yang hampir terlewat oleh diri ini.